Ratu Berita - Jadi apa yang dimaksud dengan penodaan agama bukanlah seperti yang didakwaan kepada Ahok, namun penodaan agama dalam sejarahnya berupa aksi penginjakan Al-Quran, membakar Al-Quran, merobek Al-Quran, membuang Al-Quran dan juga membunuh atau membantai pemuka agama.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menerima dakwaan dalam kasus penodaan agama dengan Pasal 156 a KUHP dan 156 KUHP. Namun selama ini telah terjadi kekeliruan dalam memahami pasal penodaan agama.
Berbicara tentang pasal 156 a KUHP yang didakwakan kepada Ahok, maka mau tidak mau dan suka tidak suka, sejarah diselipkannya Pasal 156 a ke dalam KUHP harus dikupas dengan jeli. Jika berdasarkan pada historis/sejarah terselipnya pasal 156 a KUHP yang berawal dari terbitnya PNPS nomor 1 tahun 1965, maka Ahok sebenarnya tidak bisa dijerat dengan pasal 156 a KUHP.
Hal tersebut dikarenakan sesuai dengan sejarah terbitnya PNPS Nomor 1 tahun 1965, pada pasal 4 yang mengatur hal mengenai penodaan agama yang kemudian diselipkan kedalam pasal 156 a KUHP yang didakwakan kepada Ahok bukan sebagai penodaan agama sehingga resiko hukum hakim harus tunduk pada sejarah Pasal 156 a KUHP dan juga resiko hukum selanjutnya adalah Ahok harus dibebaskan.
Sejarah diselipkannya pasal 156 a KUHP adalah dimulainya aksi penginjakan Al-Quran pada masa pemberontakan PKI di Purwakarta, Jawa Tengah. Saat itu ada sebuah gudang pemerintahan yang kemudian diduduki oleh anggota PKI, lalu kemudian dokumen yang ada didalam gudang tersebut termasuk Al-Quran yang disita seluruhnya. Al-Quran yang telah disita merupakan kitab suci agama Islam diinjak-injak oleh anggota PKI. Bukan hanya itu saja, kitab suci itu dimasukkan lagi kedalam karung dan diijak-injak lagi agar padat dalam karung.
Aksi tersebut tidak sengaja dilihat oleh anggota masyarakat dan menyebabkan keresahan sehingga dilaporkan telah terjadi aksi penginjakan Al-Quran di sebuah gudang milik pemerintah yang telah dikuasai PKI.
Aksi menginjak Al-Quran itu yang dimaksud dengan penodaan agama sebagaimana sejarah munculnya pasal 156 a KUHP sehingga saat itu anggota PKI yang menginjak Al-Quran bisa diseret ke Pengadilan untuk diadili karena dianggap sebagai penodaan agama yang sifatnya mengganggu ketertiban umum.
Baca Juga :
Saat itu tidak ada pilihan lain bagi Presiden Soekarano di tengah keadaan yang sudah mendesak, karena saat itu terjadi kekosongan hukum dimana banyak aksi penginjakan Al-Quran pelh anggota PKI yang bahkan juga membunuh dan membantai para kyai di Masjid, dan tempat agama yang lain karena saat itu mereka dianggap sebagai teroris.
Hal ini memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan PNPS Nomor 1 tahun 1965 dan menyelipkan pasal 156 a KUHP agar tidak ada lagi asi penginjakan Al-Quran dan juga pembunuhan. Semua perbuatan itu memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan pasal 156 a KUHP.
Jadi apa yang dimaksud dengan penodaan agama bukanlah seperti yang didakwaan kepada Ahok, namun penodaan agama dalam sejarahnya berupa aksi penginjakan Al-Quran, membakar Al-Quran, merobek Al-Quran, membuang Al-Quran dan juga membunuh atau membantai pemuka agama. Sehingga Ahok harus dibebaskan karena para hakim harus kembali menegakkan hukum sesuai dengan sejarah diterbitkannya pasal tentang penodaan agama.
Terlebih lagi dalam dakwaan penuntut umum menyebutkan Ahok menafsirkan Al-Maidah ayat 51, padahal 156 a KUHP yang didakwaan kepada Ahok sama sekali tidak ada kaitannya dengan menafsirkan Al-Maidah ayat 51. (Ratu Berita)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !